Senin, 29 November 2010

Suku Dayak

Suku Dayak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Bangsa Dayak
Telinga-org-dayak.jpg

Jumlah populasi
9 Juta jiwa (perkiraan 2010)
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Kalimantan Barat:? (2010).
Kalimantan Tengah: ? (2000).
Kalimantan Selatan:? (2010).
Kalimantan Timur:? (2010).
Jakarta:? (2010).
Jawa Barat: ? (2010).
Jawa Tengah: ? (2010).
Jawa Timur:? (2010).
Daerah Istimewa Yogyakarta: 8000 ( Perkiraan 2010 ).
Sulawesi Utara: ? (2010).
Bali: ? (2010).
Sumatra Utara: ?.
Brunei:? (2010).
Malaysia: 4000.000 ( Perkiraan 2010 ).
Bahasa
Dayak, Indonesia, Inggris dan Melayu.
Agama
Katolik (81%), Protestan (5%), Anglikan (3%), Ortodoks (1%), Lutheran (0.5%), Kaharingan (7%), Islam (2%), Ateisme (0.5%).
Kelompok etnis terdekat
Madagaskar, Minahasa, Banjar,Tidung
Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim) dimasa sekarang yaitu setelah berkembangnya agama Islam di Borneo, sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Sebutan Dayak ini adalah sebutan kolektif karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Kata Dayak sendiri berasal dari bahasa Dayak Kendayan, kenyah dan Dayak lainnya, yakni dari istilah kata " Daya" yang memiliki dua arti yakni "daerah hulu" dan "kekuatan". ketika ada orang lain yang menanyai seseorang yang hendak ke daerah hulu dimasa lampau dengan kalimat dalam bahasa Dayak Kendayan seperti ini: Ampus Ka mane kau? maka akan di jawab oleh orang yang di tanyai sebagai berikut: Aku Ampus ka daya...yang artinya " pergi ke mana kau? aku pergi ke hulu". suku bangsa Dayak terdiri atas 7 Stanmenras atau rumpun yakni Rumpun atau stanmenras Klemantan alias Kalimantan, Stanmenras Iban, Stanmenras Apokayan yaitu Dayak Kayan,kenyah dan bahau, Stanmenras Murut, Stanmenras Ngaju, Stanmenras Ot Danum dan Stanmenras Punan. Penduduk Madagaskar adalah keturunan para pelaut Dayak Ma'anyan dimasa lampau yaitu dimasa Islam belum datang ke Indonesia. mereka masih menggunakan bahasa Dayak Ma'anyan (Bahasa Barito) yang bercampur dengan sedikit bahasa jawa dan melayu.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Asal mula

Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut berasal dari China selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Bujakng Nyangkok adalah raja yang sangat sakti, dimana beliau bisa merubah dirinya menjadi raksasa, yang jika beliau pergi ke suatu yang jaraknya puluhan atau ratusan kilometer dalam satuan meter sekarang, maka beliau cukup melangkah hanya beberapa langkah saja. Bahkan mandau beliau disebut-sebut sangat panjang dan lebarnya melebihi lebar daun pisang. Bahkan sampai kini cerita yang ada pada masyaratak Dayak Kanayatn yang berdialek Banyadu di daerah Banyuke hulu kabupaten landak menyebutkan bahwa gunung samalap panca di kecamatan Menyuke pernah ditebas oleh Raja Bujakng Nyangko atas perintah istrinya. Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa di ucapkan menjadi ngapo dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Salahsatu Motif Khas Dayak
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[1] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[2]

[sunting] Pembagian sub-sub etnis

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman . Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[3]

[sunting] Dayak pada masa kini

Tradisi suku Dayak Kanayatn
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan, Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Borneo. sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok proto melayu ( Moyang Dayak yang berasal dari yunnan ) dari yunnan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-rumpun. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-rumpun, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :

[sunting] Contoh Budaya Dayak

[sunting] Rumah Panjang

Rumah Betang, Rumah Dayak Masa Lampau
Hampir semua Orang Dayak kecuali Dayak punan dan Dayak Meratus, mempunyai rumah panjang di masa lampau. Rumah panjang merupakan gabungan atau gandengan rumah-rumah tunggal warga Dayak dalam satu desa. Rumah panjang di bangun agar persatuan atau kekuatan dari warga desa terkonsentrasi, ketika menghadapi serangan dari luar kampung atau luar kelompok atau serangan binatang buas. Rumah panjang di dibangun dalam rupa rumah panggung yang memanjang. Semua material rumah panjang dibuat dari kayu keras seperti kayu ulin atau belian. Mulai dari sirap ( atap kayu ),tiang, rangka, dinding, lantai hingga tangga. Dimasa kini rumah panjang yang tersisa sudah sangat sedikit. Umumnya rumah panjang di bongkar karena warga penghuninya memilih membangun rumah tinggal tunggal. Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Borneo. Berdasarkan data pengukuran karbon yang terdapat pada fosil tengkorak yang pernah ditemukan di gua Niah Sarawak Malaysia diketahui bahwa tengkorak yang sangat mirip dengan tengkorak orang Dayak Punan tersebut telah berusia mencapai 37.000 tahun. Jadi dengan berasumsikan bahwa tengkorak tersebut benar-benar tengkorak Dayak punan maka ini bearti bahwa Dayak Punan merupakan nenek moyang Bangsa Dayak Borneo, atau lebih tepatnya bahwa Dayak punan merupakan sisa-sisa Bangsa austronesia (asli ) yang masih eksis. Dengan mengetahui betapa tuanya keberadaan Dayak Punan di borneo ( bahwa mereka datang jauh sebelum peradaban manusia planet bumi mengenal logam ), maka dapat dimaklumi jika mereka kurang memiliki peradaban desa dan lebih menyukai cara-cara hidup nomaden, karena itu rumah mereka dibangun seadanya ( umumnya hanya berupa gubuk ). Meskipun demikian sampai detik ini hanya segelintir warga Dayak punan saja yang masih senang hidup nomaden, sementara kelompok mayoritas telah membangun pemukiman seperti masyarakat Dayak Lain. Pada masyarakat Dayak Meratus rumah mereka di kenal dengan sebutan Bale. Suku Dayak meratus merupakan masyarakat yang masih memegang adat tradisi budaya Banjar lama. Suku Banjar sendiri jika diperhatikan dari bahasanya merupakan campuran antara bahasa Dayak Ngaju, Dayak Maanyan, bahasa Jawa dan Bahasa Dayak Kendayan, Tetapi oleh kelompok masyarakat Banjar yang fanatik dan teguh menyatakan bahwa moyang mereka adalah melayu sumatera. Jika kita runut kembali sejarah berdirinya kerajaan Banjar, disitu akan kita ketahui bahwa Raja Banjarmasin pertama yaitu pangeran Suriansyah ( seorang Blasteran Jawa-keling ) beliau di angkat menjadi raja oleh dua belas orang Demang Dayak Ngaju dan patih Masih, yang dikatakan sebagai seorang Patih melayu. Patih melayu? Dalam sejarah di ketahui bahwa Gelar patih pertamakali atau mayoritas merupakan Gelar orang-orang penting atau raja-raja Dayak Kalimantan Barat. Di sumatra sendiri tidak ada gelar patih. Dimasa kayau-mengkayau masih membara di bumi Kalimantan antara Dayak dari barat Borneo (Dayak Kendayan) dan Dayak-Dayak dari selatan Borneo (Dayak Biaju / Ngaju dan Dayak Maanyan) sering terlibat perang kayau, kedua suku sering saling serang-menyerang, meskipun demikian disaat-saat tenang kedua suku saling berhungan dan termasuk berniaga. saat itulah banyak warga Dayak Kendayan pesisir yang meyusuri pantai kalimantan hingga ke daerah selatan dan membangun pemukiman di tengah-tengah Dayak Biaju / Ngaju, orang Dayak Kendayan ini masih memakai Bahasa Dayak Kendayan. Karena Bahasa Dayak kendayan mirip dengan bahasa melayu, oleh orang Ngaju di kira orang Melayu. Dan Patih Masih adalah satu-satunya petinggi Dayak Kendayan di tanah rantau di daerah itu. Jadi pada dasarnya warga yang didefenisikan sebagai melayu oleh orang Ngaju itu tidak lain dan tidak bukan merupakan perantau-perantau dan sisa-sisa pasukan kayau Dayak Kendayan yang tidak kembali. Dan mengembangkan adat tradisi serta bahasa Dayak Kendayan yang sampai saat ini dapat disaksikan pada keturunannya yang tidak mau menganut Islam, yang di sebut suku Dayak Meratus. Intinya suku bahwa suku Banjar merupakan keturunan Blasteran antara Dayak Kendayan dengan Dayak Biaju, Dayak Maanyan dan sedikit pendatang Jawa. Selain di selatan Borneo keturunan perantau atau pelaut atau pasukan kayau dari Dayak Kendayan juga terdapat di Brunei yang di kenal dengan sebutan suku Dayak Kedayan.

[sunting] Budaya Telinga Panjang

Anting Dayak Tradisional model Gasing
Anting Dayak Tradisional model Naga
Dimasa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban saja, sementara pada masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan. Apakah Masyarakat Dayak lain tidak punya budaya ini? Sejujurnya hampir semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini hanya saja sudah lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan arab atau etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang meninggalkan budaya ini di masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang. Pada masyarakat Dayak Kanayatn yang berdialek Banyadu misalnya, dari cerita orang tua di kampung Tititareng kecamatan Menyuke darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang masih terdapat seorang nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan Nenek tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat Dayak rumpun Apokayan masih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini, Jika kita perhatikan bahwa kebanyakan sesepuh adat atau orang yang dituakan atau orang-orang penting dalam strata sosial adat masyarakat Dayak rumpun apokayan ini kebanyakan adalah kaum wanita. Kaum wanita umumnya dikenal cenderung sangat teguh mempertahankan kebiasaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat ketimbang kaum pria, apalagi jika tradisi tersebut sudah dianggap sebagian dari adat yang harus dilestarikan, maka sudah tentu akan di pertahankan, dan terutama jika para orang penting yang umumnya kaum wanita tersebut selalu menganjurkan agar kaum wanita tetap memanjangkan telinganya. Namun meski demikian seiring perkembangan jaman hal tersebut akhir-akhir ini nampaknya sudah berada pada kondisi yang kritis dimana banyak kaum wanita masyarakat Dayak rumpun apokayan ini meninggalkan budaya telinga panjang dengan cara memotongnya.

[sunting] Budaya Tatto

Motif Bunga Terong, Motif tatto para panglima Dayak
Tatto pada masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang secara langsung memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik kaum pria maupun kaum wanita sama-sama mempunyai tatto. Sementara motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan strata sosial yang berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan orang-orang penting seperti para temenggung, para Baliatn, para Demang dan para Panglima perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah banyak ditinggalkan, dengan berbagai alasan, meski cukup banyak juga generasi Dayak yang sadar untuk terus mengembangkannya.

[sunting] Kayau

Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah Dayak Kanayatn ). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar suku seperti perang dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan beberapa waktu yang lalu, yang korbannya tidak pandang bulu apakah seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok musuh. Kayau tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah pasukan Kayau yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa silam Kayau umumnya dilakukan terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya. Peristiwa Kayau yang terekam sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kanayatn ) Kalimantan Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah.

[sunting] Senjata Sukubangsa Dayak

  1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
  2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
  3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
  4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
  5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

[sunting] Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak

  1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
  2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
  3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
  4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
  5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
  6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
  7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
  8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
  9. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
  10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

[sunting] Tradisi Penguburan

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  • penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  • penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
  1. penguburan tahap pertama (primer)
  2. penguburan tahap kedua (sekunder).

[sunting] Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.

[sunting] Prosesi penguburan sekunder

Prosesi penguburan sekunder
  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. wara
  4. marabia
  5. mambatur (Dayak Maanyan)
  6. kwangkai (Dayak Benuaq)

[sunting] Referensi

  • Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
  • Peter Bellwood, “The Prehistory of Borneo”, dalam Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
  • Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
  • bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
  • Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
  • Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
  • Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi
  • Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta

[sunting] Macam Suku Dayak

Gadis Dayak
dari sekian ratus sub suku dayak diantaranya ialah

[sunting] Dayak Non Muslim

[sunting] Dayak Muslim

[sunting] Tokoh-tokoh Dayak

[sunting] Lihat pula

[sunting] Referensi

  1. ^ Fridolin Ukur, 1971
  2. ^ Sarwoto Kertodipoero, 1963
  3. ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975

[sunting] Pranala luar

Peralatan pribadi
Ruang nama
Varian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar